Pages

14 Jun 2014

Jarum-Jarum Penyesalan

Langit seolah terbata memangku awan, angin berjalan hingga mampu membelai lembut tangan, tersapu rambut di pelipis mata. Rintik rintik hujan mulai berguguran, bak salju-salju yang bertaburan. Berjalan kaki melangkah, menyusuri beceknya jalan yang ada. Penuh bebatuan disetiap jalannya, kerikil yang lancip dan kotak tak merata, menusuk-nusuk telapak kakiku yang hanya beralaskan kulit saja.
Tiba di rumah, aku disambut dengan gelapnya malam, terpancar sepercik cahaya lampu kuning di ruang tamu. Kusandarkan diri pada pojok dinding rumah, sejenak istirahat melepaskan letih yang merasuk di dada aku menengadah, melihat atap rumah yang tiada langit-langitnya. Tes-tes-tes air hujan menembus dinding rumahku
“yah....bocor,” kataku dalam hati
“man....ambilkan ember di belakang rumah, letakkan di bawah genteng yang bocor itu,”terdengar teriakan Ibuku dari dinding kamarnya.
“cepet nduk...”tambahnya
Tanpa menjawab aku langsung berdiri,memaksakan kedua kakiku untuk melangkah mengambil ember, kuletakkan ember hitam berbahan plastik itu tepat di bawah  tetesan air yang terus menetes tiada henti sebelum huja berhenti.
Tergerak hatiku untuk menemui Ibu, bukan bermaksud untuk menjenguk, aku malah meminta Ibu untuk dibelikan sepeda motor. Aku tidak beralasan tapi memang benar, ini semua untuk kepentinganku, kepentinganku dalam menuntut ilmu. Sering terjadi pada diriku diguyur hujan lalu tidak bisa pulang karena rintik-rintik air itu menghalangiku. Alhasil setiba di rumah pada saat gelap gulita. Yaahh... malam ini aku sudah frustasi, aku bosan, aku capek dengan semua ini, mau tidak mau, tega tidak tega aku harus meminta sepeda motor kepada Ibu agar aku bisa sampai di rumah tepat waktu. Tidak seperti ini, selalu pulang malam karena hujan yang tidak kunjung reda dan dampaknya adalah aku tidak bisa belajar karena kecapekan. Ibu menjawab “iya nduk... insyaallah Ibu belikan kamu sepeda motor, tapi ada syaratnya ya ?” kamu harus bisa peringkat 1 dulu, kalau kamu sudah dapat peringkat 1, Ibu janji akan membelikanmu sepeda motor. Bagaimana ?” jawab Ibu tegas.
Aku hanya mengangguk pelan. Aku ingin meng-iyakan syarat itu, karena aku sudah bertekad apapun syaratnya pasti akan aku penuhi. Tapi, disisi lain aku bertanya-tanya apa bisa aku mendapatkan peringkat 1?
Bagi seorang cowok, peringkat 1 adalah hal yang sangat mustahil, terlebih aku yang tidak memiliki latar belakang keluarga pintar ataupun kaya. Aku hanyalah anak laki-lak biasa yang terlahir dari orang biasa pula.
~.~
Ku peluk erat rapot bersampul merahku, bahagia sungguh melanda hatiku, tak ku kira perjuanganku selama ini tidak sia-sia, aku mampu menang, aku mampu mengalahkan teman-temanku yang lainnya. Aku mampu meraih peringkat 1 sesuai dengan apa yang diinginkan Ibuku, sungguh bangga hatiku.
Sekarang adalah saatnya untuk menagih janji Ibuku. Aku berteriak-teriak lantang penuh semangat, memberi tahu Ibuku bahwa aku telah mampu peringkat 1 dan menagih janji Ibuku untuk membelikan sepeda motor sekarang, karena beliau sedang sakit dan uangnya pun tidak cukup untuk membelikanku sepeda motor baru sesuai dengan janji yang di utarakannya dulu kepadaku. Aku sangat marah melihat kenyataan ini semua. Aku ambil secara paksa rapot di tangan Ibuku, tanpa berkedip aku membanting rapotku itu ke atas lantai. Hatiku panas, amarah mulai membara, diri ini merasa tak di hargai, pengorbananku untuk mendapatkan peringkat 1 tidaklah mudah ku lakukan ,itu semua hanya untuk sepeda motor baru yang telah di janjikan Ibu kepadaku, tapi apa? nyatanya?”Ibu jahat! Ibu ingkar! mana janji Ibu dulu mana? herman malu bu...malu! semua teman-teman herman selalu memakai sepeda motor saat berangkat ke sekolah, sedangkan herman apa? selalu jalan kakii dari depan rumah hingga ke depan jalan raya besar, lalu naik bemo?! Herman malu bu...malu!!”. tanpa berfikir panjang, kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah.
~.~
4 bulan telah berlalu, Ibu memberiku hadiah ulang tahun, dIbungkusnya rapi kado itu dengan muka tidak sabar.
“ini adalah hadiah sekaligus ucapan maaf dari Ibu atas kejadian 4 bulan yang lalu.”kata Ibu, aku hanya tersenyum mendengarnya. Saat ku buka, aku berharap itu adalah kunci sepeda moto, tapi apa? isinya hanyalah sehelai sarung hitam murahan yang di beli di pasar. Melihat itu, hatiku semakin kecewa, ada rasa benci di dalamnya. Aku banting hadiah itu. Semenjak itu aku putuskan, aku pergi dari rumah untuk selamanya.
~10 tahun kemudian~
Aku kini telah sukses, terbesit di mataku bayangan Ibu, mungkin aku rindu padanya. Aku putuskan,aku pergi menjenguknnya di desa tempat tinggalku dulu. Aku bawa anak dan istriku dengan mengendarai mobil pribadiku. Saat aku sampai di rumahku yang dulu, tidak ada siapa-siapa di dalamnya kecuali pamanku, aku bertanya kepadanya dimanakah Ibuku berada? paman tidak menjawab, ia malah memberiku kotak kecil yang kurasa itu adalah kotak hadiah ulang tahunku 10 tahun silam, ku buka lagi kotak itu, isinya masih sama, sehelai sarung hitam murahan yang dibeli di pasar, tapi terlihat di bawahnya terselip 1 kunci indah bergantung gambar motor, di dalamnya pula terdapat sepucuk surat yang isinya adalah permohonan maaf Ibu kepadaku karena keterlambatannya membelikan sepeda motor baru untukku.
Betapa kagetnya aku, jadi selama ini aku telah salah faham pada Ibuku sendiri, sebenarnya Ibu telah memenuhi janjinya padaku untuk membelikan sepeda motor baru untukku. Dia tidak pernah mengingkari janjinya. Aku berlari menuju makam Ibuku, menangis sejadi-jadinya mengucap maaf yang tiada hentinya, aku menengadah menatapi jarum-jarum hujan yang datang menerpa, mengingatkanku pada kejadian 10 tahun yang lalu, adanya jarum-jarum penyesalan kini melandaku, membekas dan menggoreskan luka pedih di hatiku. Maafkan aku wahai sang pengindah hidupku ...
Nb: Ibu selalu tahu, apa yang terbaik untuk kita J
Karya     : Rinaldiyanti Rukmana

Kelas     : XI IPA 3

0 comments:

Post a Comment